Monday, December 11, 2023

Joshua Kimmich: Lapangan Kami, Tribun Kami

Catatan JOSHUA KIMMICH Pemain Bayern Muenchen dan Timnas Jerman

TERDENGAR suara kaca pecah. Kami semua saling memandang, tentu saja dengan wajah bersalah. Ada kaca jendela yang pecah.

Joshua Kimmich

Dari dalam rumah, ibu saya mengenali betul suara apa itu. Pada momen itu, dia tidak lagi perlu bertanya apa yang terjadi atau bagaimana bisa terjadi? Dia hanya keluar rumah dan memandangi kami semua. ’’Siapa yang melakukannya kali ini.’’ Saya tumbuh di kampung kecil di Jerman, Bosingen, yang berlokasi di antara hutan hitam dan Stuttgart. Dan ketika saya mengatakan kecil, yang saya maksud adalah benar-benar kecil. Di kampung kami, penduduknya tidak lebih dari 1.700 orang. Kami semua mencintai sepak bola. Tapi, tidak ada banyak tempat untuk anak-anak memainkan bola di kota kecil itu. Itulah penyebab kaca-kaca jendela pecah.

Liburan musim panas berarti momen bagi kami untuk bermain di pelataran depan ru- mah. Itu artinya ada harga yang harus dibayar dengan kerusakan taman bunga milik ibu. Saat musim dingin, kami akan bergerak keluar, ke jalanan di depan rumah kami. Tetapi, tidak berarti jendela kaca sudah benar-benar aman.

Taman depan rumah adalah tempat saya belajar dan mulai mencintai sepak bola. Ketika saya belia, mungkin sekitar 4 atau 5 tahun, saya biasa bermain dengan ayah. Dia yang mengajari saya melepaskan passing dan tendangan. Pertama dimulai dari kaki kiri saya, lalu kaki kanan. Saat saya lebih besar, saya mulai bermain dengan anak-anak yang lebih tua di kampung. Taman menjadi tempat semua orang berkumpul dan bermain bersama.

Sejak saya berusia 7 tahun, tampaknya kami terlalu sering memecahkan kaca jendela. Dan, orang tuan kami mulai mengatakan: Cukup. Suatu hari saya pulang ke rumah dan menemukan dua buah gawang bekas di halaman depan. Sebuah tim sepak bola lokal tidak lagi membutuhkan barang itu dan orang tua saya mengambil alih. Ayah saya menunjuk sebidan tanah lapang yang tidak terpakai di seberang jalan sebagai tempat bermain kami yang baru.

’’Anak-anak, ayo ke sini dan mulailah bermain sepak bola.’’

Jadi, kami mulai menyiapkan lapangan itu. Seluruh lapangan itu sekarang hanya milik kami. Setiap hari sepulang sekolah dan di akhir pekan kami keluar untuk bermain. Kami membangun tribun kecil agar terlihat seperti stadion. Kebetulan seorang tetangga baru saja membangun rumah dan tersisa banyak kayu dan papan yang tidak terpakai. Jadi, tentu saja, kami mengambil apa saja yang bisa digunakan. Sedikit demi sedikit kami membawa papan dan kayu yang tersisa dan menyusunnya. Kami membuat tempat duduk bertingkat, menyusun kayu seperti tangga-tangga kecil agar orang bisa naik ke atas, dan akhirnya bisa dipakai untuk menonton kami bermain. Kami merasa seperti pemain sepak bola profesional. Itulah yang kami impikan.

Saya berada di lapangan dengan mengenakan jersey koleksi pribadi –kadang Zidane, Schweinsteiger, atau Tomas Rosicky–, kemudian membayangkan bermain di stadion betulan dengan tribun sebenarnya pula. Saya terkadang menutup mata dan membayangkan; Saya adalah pemain sepak bola profesional, dengan fans yang meneriakkan nama saya, mengenakan jersey dengan tulisan KIMMICH di punggung.

Tetapi, semua teriakan itu –meski hanya dalam imajinasi saya– tercapai suatu hari. Memang, tidak semua orang di kampung tergila-gila akan sepak bola layaknya teman-teman dan saya. Orang tua saya berkata, salah seorang tetangga saya telah membeli tanah itu. Di lapangan kami itu. Tentu saja, saya masih anak kecil. Jadi, saya tidak mengerti bahwa tanah itu bukan milik kami. Saya sangat marah, sangat kecewa. Itu lapangan kami. Itu tribun kami. Saya bisa melihat lapangan kami dari jendela kamar dan mulai terlihat truk konstruksi datang. Saya melihat kontraktor mulai merubuhkan tribun kami dan mengeruk tanah di lapangan itu. Di tempat itu mereka membangun danau buatan dan taman. Sungguh membuat patah hati.

Tetapi, kakek saya yang tinggal di kota berbeda datang untuk menjadi penyelamat. Ada sedikit bidang tanah yang tidak terpakai di rumahnya. Jadi, kami membuat gawang dan mulai bekerja lagi. Kali ini kami juga membangun sebuah asrama kecil. Jadi, ketika akhir pekan dan cuaca cerah, kami bisa ber- main seharian dan tidur dengan nyaman pada malam hari.

Terkadang kami pesta barbeque di malam hari. Dan pada pagi hari, kami memasak sarapan sebelum memulai hari baru untuk bertanding lagi.

Bagi saya, satu-satunya yang penting hanyalah sepak bola. Ketika tidak bermain sepak bola dengan teman-teman di lapangan kami, saya akan bermain dengan klub junior lokal.

Suatu hari tim kami bermain dengan tim junior VfB Stuttgart, salah satu tim terbaik di region kami. Itu adalah klub dengan banyak pemain profesional yang memulai dari sana. Saya mencetak tidak gol melawan mereka dan kami menang 3-2. Bukan cara yang buruk untuk dikenali.

Tetapi, ketika Stuttgart meminta kepada ibu dan ayah apakah saya datang dan bermain untuk mereka, orang tua saya mengatakan tidak. Saya masih berusia 8 tahun saat itu. Untuk berlatih dengan mereka, kami harus berkendara sekitar satu jam menuju lokasi latihan dan satu jam lagi untuk pulang selama beberapa hari dalam sepekan. Saya tidak begitu kecewa. Saya telah memiliki tim yang hebat dan saya tahu apa yang terjadi apabila saya bergabung dengan akademi terlalu muda. Ada seorang anak dari kampung kami yang bergabung dengan akademi pada usia delapan tahun. Beberapa tahun kemudian akademi tersebut melepas dia.

Saya hanya ingin bertahan di tempat di mana saya bisa berkembang menjadi lebih baik. Tapi, setelah tiga tahun berikutnya, ketika saya mulai terpilih untuk tim regional, Stuttgart kembali datang untuk meminta kepada orang tua saya. Bahkan, mereka mengundang kami datang dan melihat markas mereka. Orang tua saya bergeming. ’’Apabila menginginkan sesuatu dari kami, mereka yang harus datang ke kami,’’ kata ayah.

Saya menerka, mereka mengetahui apa yang ayah katakan. Sebab, beberapa waktu setelah itu pelatih junior Stuttgart datang di rumah kami. Dia katakan kepada kami untuk berpikir dulu dalam beberapa hari. Tetapi, sejak itu, saya pikir orang tua saya tahu yang terbaik dalam bergabung bersama klub. Itu terjadi hanya beberapa waktu setelah klub tersebut memenangi gelar kelimanya di Bundesliga. Selama beberapa hari dalam sepekan ayah berkendara mengantar saya ke Stuttgart. Namun, setelah dua tahun, nyaris setiap hari rasanya itu sudah berlebihan. Saya harus bangun pagi pukul 07.00 dan pulang ke rumah hingga malam pukul 22.00. Saya harus mengerjakan PR di mobil atau tertinggal pelajaran. Sesuatu harus berubah.

Mereka akhirnya menawarkan saya untuk bergabung ke akademi secara full-time. Stuttgart hanya memiliki 18 pemain setiap tahun –dan saya satu di antara mereka. Tapi, itu berarti saya harus meninggalkan rumah. Orang tua saya dan saya membicarakan itu. Kemudian, mereka memutuskan bahwa itu adalah yang terbaik buat saya. Kami mulai mengemasi barang-barang saya, memasukkannya ke mobil, dan berangkat ke akademi. Ibu saya menahan air matanya ketika memeluk saya. Dia tidak ingin terlihat menangis di hadapan saya. Saya juga mencoba melakukan hal serupa ketika memeluk ayah dan saudari saya.

Lebih dari Mimpi Terliar Saya

TERDAPAT seorang anak yang saya kenali dari regional kami dan terpilih masuk akademi bersamaan dengan saya. Kami berdua adalah yang termuda di sana –baru 14 tahun. Dan, kami memutuskan berkeliling setiap kamar untuk memperkenalkan diri.

’’ Halo, saya Joshua!’’ Saya berupaya terlihat bersahabat meski sebenarnya grogi.

Akhirnya saya sadari, menjadi yang termuda di akademi berarti harus membersihkan dapur dan meja setelah sarapan setiap hari. Tapi, itu tak jadi masalah karena setiap hari, di antara pelajaran di kelas dan istirahat di asrama, saya bermain sepak bola. Setelah empat tahun dan beberapa musim di akademi, saya menginginkan lebih. Saya baru berusia 18 tahun, tapi sudah merasa siap bermain di tim kedua Stuttgart yang berkompetisi di level ketiga Liga Jerman.

Namun, tim tidak berkehendak sama. ’’Kamu tidak sebagus itu, dan fisikmu tak begitu tangguh,’’ kata pelatih sembari menjelaskan saya butuh tambahan setahun lagi di tim junior. Mereka katakan kepada saya bahwa ada beberapa pemain di posisi yang sama dan sudah profesional. Mereka lebih baik.

’’Kamu tidak memiliki peluang untuk melampaui mereka dan bermain di pertandingan.’’

Tapi, saya menyadari bahwa saya butuh kesempatan untuk membuktikan diri. Saya ingin menunjukkan apa yang bisa saya lakukan di lapangan. Dan, tim itu belum percaya. Saya menginginkan satu kesempatan.

Saya pikir pelajaran yang paling berharga yang telah saya pelajari sejauh ini, yang terpenting bagi seorang pemain adalah dipercaya manajer dan pelatih mereka.

Lalu, saya mengetahui bahwa direktur tim junior yang dulu meyakinkan orang tua saya untuk bergabung ke Stuttgart telah pindah ke klub baru, RB Leipzig. Jadi, dia kemudian mempertemukan saya dengan tim itu dan Manajer Leipzig Ralf Rangnick yang merupakan salah seorang paling inovatif dan manajer yang dihormati di sepak bola Eropa. Saya tahu, Ralf sering bekerja dengan banyak talenta muda. Bermain di klub tersebut berarti saya lebih jauh dari rumah. Tapi, apa pun itu, inilah yang saya inginkan, menjadi pemain sepak bola profesional.

Saya mendapat kepercayaan dari Ralf dan klub, dan saya pikir inilah kesempatannya. Saat itu saya justru memasuki salah satu momen paling sulit dalam hidup. Saya mengalami cedera pangkal paha saat bergabung ke RB Leipzig dan tidak tahu berapa lama waktu untuk rehabilitasi.

Untuk empat bulan pertama, saya hanya melakoni recovery. Itu membuat saya tak berlatih bersama tim. Saya berlatih sendirian, ketika para pemain menjalani latihan penuh bersama. Saya tidak mengetahui kota itu dan belum mengenal rekan satu tim. Karena itulah saya sendirian di hotel, 550 kilometer jauhnya dari keluarga, hanya ditemani televisi, laptop, dan telepon genggam. Setiap hari saya menelepon rumah.

Saya merasa kesepian, tapi harus melakukan ini sendiri. Saya butuh membuat diri saya sehat agar bisa menunjukkan yang bisa saya lakukan. Perlahan saya kembali ke lapangan, mulai mengenal rekan satu tim. Dan, beberapa bulan kemudian, banyak laga yang saya lalui. Kemudian, saya bermain melawan Stuttgart.

Kami memenangi laga itu dan saya berjalan ke luar lapangan dengan perasaan yang sangat lega. Saya telah menunjukkan kepada orang-orang bahwa saya cukup bagus. Saya bermain di kompetisi level ketiga. Saya pemain profesional. Saya tak berpikir akan jauh lebih baik. Saat itu, saya juga menjadi bagian dari timnas U-19 yang bermain di kejuaraan Eropa, dan tim kami juga promosi ke level kedua kompetisi.

Dan, pada akhir Januari 2015, agen saya menelepon. ’’Apa yang kamu pikir apabila saya katakan Bayern Muenchen tertarik kepadamu?

’’ Tunggu, apa? Tak mungkin, itu tidak mungkin.’’

’’Joshua, mereka menginginkanmu,’’ kata agen saya. Saya tak memercayainya. ’’Saya ingin mendengar langsung dari manajernya,’’ kata saya. JOSHUA KIMMICH

Salah satu klub terbesar di dunia menginginkan saya? Beberapa pekan kemudian, saya mendengar langsung dari manajernya, lalu saya duduk di ruang konferensi pers menunggu bertemu dengan Pep Guardiola.

Saya hanya mengetahui Pep dari apa yang terlihat di televisi. Saya grogi. Tapi, saat dia berjalan ke arah saya, saya merasa ini sangat tepat. Segera saya mengetahui: Saya ingin bermain untuk Bayern. Pep berbicara kepada saya soal kekuatan dan kelemahan saya, serta bagaimana dia akan membantu saya menjadi pemain yang lebih baik dengan mempelajari gaya main yang berbeda.

’’Saya menginginkanmu dalam tim ini,’’ katanya. Itu momen yang tak pernah saya lupakan.

Saya merasa Pep dan Bayern melihat sesuatu dalam diri saya, dan saya ingin menunjukkan bahwa mereka tidak keliru.

Klise kalau saya katakan, tapi tahun ini seperti mimpi yang jadi nyata. Saya baru 21 tahun dan setiap hari saya berjalan ke lapangan bersama beberapa pemain terbaik dunia. Bersama para pemenang Piala Dunia, pemenang Euro, dan pemenang Liga Champions yang menjadi rekan tim saya.

Ada tekanan yang besar, dan saya grogi dalam debut di Allianz Arena. Tapi, berjalan bersama Manuel Neuer, Thomas Mueller, Philipp Lahm, Jerome Boateng, dan mereka semua membuat segalanya lebih mudah. Sebab, mereka tepat berada di sisi saya dan mengajari banyak hal penting. Dan, ada fans Bayern. Setiap pekan, sebanyak 75 ribu tiket terjual habis di Allianz Arena. Ketika masih kecil, saya pergi menonton laga Bayern bersama ayah. Saya belum pernah melihat stadion sebesar itu sebelumnya. Sepuluh tahun berikutnya, ayah saya kembali ke tribun itu, menyaksikan saya masuk ke lapangan menjalani debut bersama Bayern. Saya menjadi bagian dari klub ini dalam laga Liga Champions, meraih gelar Bundesliga, dan sungguh luar biasa. Sesekali saya mengenang pengalaman bermain bersama teman-teman di lapangan kecil kami di Bosingen. Dan tentang impian mendengar penonton menyerukan nama saya. Sekarang, lebih dari itu dan segalanya melampaui mimpi terliar saya.

Saya pulang kampung saat liburan musim panas dan semua orang sangat bangga atas apa yang telah saya lakukan selama musim lalu, serta pada Euro 2016 di Prancis. Yang mengejutkan bagi saya –dan saya yakin juga buat banyak orang– saat saya terpilih dalam tim terbaik turnamen Euro 2016 bersama Jerome Boateng dan bintang layaknya Antoine Griezmann dan Cristiano Ronaldo.

Sesuatu yang di kampung kecil saya tidak berubah adalah bagaimana sepak bola membuat orang-orang tergila-gila. Di mana anak-anak kecil berlarian dengan jersey sepak bola. Ada juga yang berubah. Lapangan kami, asrama kami, sudah tak lagi ada. Tapi, salah satu gawang dari rumah kakek saya dibawa ke taman di rumah kami.

Keluarga saya menyimpannya untuk sepupu kecil saya yang memimpikan menjadi pemain sepak bola profesional. Dia terkadang belajar passing dan tendangan, dimulai dari kaki kiri dan kemudian kanan. Dia mengenakan jersey Bayern Muenchen dengan KIMMICH di bagian punggung. (*/habis)

Bagian terakhir dari tulisan Joshua Kimmich yang dimuat di The Players’ Tribune pada 25 Agustus 2016

0 comments:

Post a Comment